HARDINA
Pemuda dewasa itu terduduk di
bangku hatle yang cukup lengang. Kendaraan yang lewat tak begitu banyak, di
halte itupun hanya ada dirinya yang duduk sendirian sambil memandang gedung
sekolah yang berada di seberang jalan.
Rasanya sudah lama sekali ia tak
duduk di bangku itu. Sejak kelas 3 SMA, sejak dia meninggalkan kota ini. Banyak
yang berubah disini. Bangku halte ini sudah tercat rapi, kanopi pun sudah
terpasang untuk melindunginya dari sengatan sinar matahari yang membakar kulit.
Jalanan yang beraspal halus dan trotoar yang sudah tak lagi berlubang-lubang.
Bau got yang dulu sering tercium pun sekarang sudah tak terasa baunya.
Apalagi gedung itu. Gedung sekolahnya
dulu. SMA NEGERI PURBALINGGA. Dan sekarang plang yang ada di depan sekolahnya
bukan lagi bertulis SMA NEGERI PURBALINGGA, namun sekarang menjadi SMA NEGERI 1
PURBALINGGA. Perubahan yang sangat signifikan bukan?
Cukup lamakah ia pergi merantau?
Mungkin iya, buktinya sekarang sudah sangat banyak perubahan, mungkin jika
perubahan-perubahan itu dibukukan tebalnya bisa melebihi satu jilid buku Harry
Potter milik JK Rowling.
Bunyi bel sekolahnya terdengar di
telinganya, padahal jaraknya dengan sekolah cukup jauh. Bel sekolahnya memang
sangat dasyat bunyinya sejak ia duduk di bangku sekolan dulu.
Sekarang ia bisa melihat siswa
siswi berseragam putih abu-abu sedang berjalan menuju pintu gerbang. Ada yang
sedang bercanda tertawa. Ada yang hanya diam berjalan sendirian. Ada yang
sedang sibuk dengan ponselnya. Ada yang sedang sibuk dengan lembar-lembar
fotocopyannya. Ada juga yang sedang terlihat begitu tergesa-gesa ingin cepat
pulang.
Pemuda itu tersenyum kecil,
seperti itukah dirinya dahulu? Tanyanya pada dirinya sendiri.
Telinganya mulai tergelitik
dengan celotehan-celotehan siswa siswi yang ikut menunggu di halte bus. Ada
yang berceloteh tentang ulangan tadi pagi, ada yang menceritakaan guru-gurunya
dan ada pula yang bercerita tak penting.
Pandangannya sekarang tertuju
pada satu titik. Sepasang muda-mudi yang sedang menyebrang ke halte itu dengan
senyum yang malu-malu khas anak muda. Dan itu persis, sangat persis dengan yang
dialaminya dahulu saat sekolah.
**
Dua pemuda itu
bersenggol-senggolan seperti mengisyaratkan “lo duluan deh!”. Kemudian salah
satu pemuda itu mendengus sebal. “kalo gini nggak ada hasilnya”,pikirnya. “gue
duluan deh!”,katanya. pemuda yang satunya tersenyum senang.
Dengan langkah yang ragu pemuda
itu mendekati gadis yang sedang berdiri tak jauh dari mereka. Dan ia
mensejajarkan dirinya dengan gadis itu. Sedikit berdeham untuk mencari
perhatian si gadis. Dan ulahnya tadi membuat gadis itu menoleh kepadanya. Ia
hanya menyunggingkan senyum. Gadis itu membalas senyumnya.
“lagi nunggu bus atau
angkot?”,tanya pemuda itu mencoba beramah tamah.
“angkot”,jawab gadis itu singkat.
“jurusan mana?”,tanyanya lagi.
“bojongsari”,lagi-lagi hanya
jawaban singkat yang didapatinya. Pemuda itu mengusap wajahnya frustasi dan
kemudian ia menoleh ke belakang. Dan ia mendapati wajah temannya yang sedang
menyeringai. Ia mendengus kesal.
“bojongsarinya sebelah
mana?”,tanya pemuda itu masih berusaha mendekati gadis itu.
“deket owabong”,jawab gadis itu.
Sebuah mobil orange dengan angka 1 di atasnya mendekat ke halte yang belum
beratap.
“duluan ya”,pamit gadis itu
setelah angkutan kota itu berhenti tepat di depan halte. Si pemuda hanya
mengangguk sambil tersenyum. Pemuda itu menatap kepergian angkutan kota itu
sampai menghilang di tikungan. Dan ia kembali duduk di bangku sebelah temannya.
Seketika bahak tawa dari teman disebelahnya terdengar.
“hahahaaaa, gokil lo Nal! Rumus
gapang lo taklukin, tapi urusan cewek lo nggak bisa taklukin! Hahaa”,ejek
temannya itu.
“ah, lo gitu banget sih! Makannya
ajarin donk caranya deketin cewek!”,ujarnya kesal. Temannya tadi menghentikan
tawanya.
“beneran nih lo mau diajarin cara
deketin tuh cewek?”,tanya temannya dengan mimik serius. Yang ditanya hanya
mengangguk mantap.
“yodah, entar gue ke rumah lo!
Entar gue kasih tau deh caranya”,ucap temannya itu. Si pemuda hanya mengangguk
setuju.
**
Pemuda dewasa itu tersenyum tipis
mengingat masa lalunya, untung saja, halte ini sudah lumayan sepi. Ternyata
sejak tadi ia melamun ia sama sekali tak memperhatikan sekitarnya.
Sebuah motor ninja hijau berhenti
di depan halte tempat ia menunggu. Seorang gadis yang sejak tadi duduk di
sebelahnya -tanpa ia sadari- bangkit menghampiri si pengendara sepeda motor itu
dan tak beberapa lama keduanya telah menghilang dengan menyisakan polusi
kendaraan yang terlalu pekat.
**
“weezz, bawa motor lo
jadinya?”,tanya pemuda berkulit putih itu. Si pemuda berkacamata hanya
mengangguk.
“entar gue nebeng yaa”,pinta
pemuda berkulit putih itu dengan seringainya dan permintaannya tadi langsung
mendapat pelototan taja si kacamata.
“enak aja! Ini gue pake Cuma buat
nganterin hardina tau..”,ucap si kacamata.
“iya deh yang baru jatuh
cinta....”,goda pemuda putih tadi. Si kacamata hanya diam tak berekspresi.
“ini kan ide lo Den -__-“,ucap si
kacamata. Pemuda putih tadi hanya terkekeh mendengar ucapan si kacamata.
Pemuda itu mengklaksoni gadis
yang berjalan cepat di depannya. Dan ulahnya itu membuat gadis itu menengok
dengan wajah sedikit kesal. Pemuda tadi hanya menyeringai.
“naik angkot lagi?”,tanya pemuda
itu ramah. Si gadis itu hanya mengangguk malas.
“mau bareng?”,tawarnya. Si gadis
hanya menyeritkan dahi.
“nggak usah”,tolak gadis itu
selembut mungkin. Pemuda itu tersenyum masam.
“kenapa?”,tanyanya penasaran.
“bukan muhrim”,jawab gadis itu
dengan senyuman yang membuat pemuda itu melayang. “Ah, begitu sucinya gadis
ini”,pikirnya
“nggak bawa motor lagi?”,tanya
pemuda putih yang kemarin kepada temannya yang berkacamata.
“nggak”,jawab pemuda berkacamata
itu tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang sedang dibacanya.
“kenapa?”,tanya pemuda putih
tadi.
“nggak papa”,jawab si kacamata
singkat. Pemuda putih itu tak percaya.
“nal, cerita donk, gimana
kemarin?”,tanya si pemuda putih itu dengan menaik turunkan alisnya.
“ya gitu deh, cara yang lo kasih
nggak bagus, dia bilang kita bukan muhrim”,jawab si kacamata tadi. Pemuda putih
itu hanya menahan tawanya. “sungguh kisah cinta sahabatnya ini memang susah
sekali”,pikirnya.
“ya, nggak usah sedih gitu donk!
pake cara lainnya kan masih banyak!”,ucap si pemuda putih tadi.
“cara apa lagi? dijamin berhasil
nggak?”,tanya si kacamata sepertinya dia mulai tertarik dengn pembicaraan
pemuda putih itu. Si pemuda putih hanya tersenyum senang.
**
Pikiran pemuda itu kembali ke
alamnya. Hmm, masa lalunya kembali ia ungkap disini.
Kembali ia memperhatikan
sekitarnya. Kini ia benar-benar sendiri, sejak tadi siswa-siswi yang menunggu
di halte sudah pulang satu per satu. Ia memandang langit yang sepertinya akan
gerimis. Ah, suasana ini kembali terulang.
**
Jarum jam sudah menunjukkan angka
15.30 namun pemuda itu masih enggan untuk beranjak. Sedari tadi ia hanya diam
di depan laboraturium TIK yang tepat menghadap ke koridor sekolahnya. Dan sejak
tadi guntur terus mempermaikannya.
Tak hujan juga tak terlalu
terang, namun guntur sedari tadi bersahut-sahutan.
Beberapa menit setelahnya gerimis
mulai turun. Pemuda itu menggeledah tasnya untuk mencari sesuatu. Ah, dapat! Ia
mengeluarkan payung lipat ungu milik ibunya. Dia tersenyum jika membayangkan
kejadian yang akan dialaminya nanti.
Seorang gadis berjalan sendiri di
tengah koridor. Gadis itu sedikit mengadahkan tangannya saat ia berjalan keluar
dari koridor. Pemuda berkacamata itu mengejarnya.
“hardina! Tunggu!”,teriaknya
karna jaraknya dengan gadis itu cukup jauh. Hardina menoleh, ia dapat melihat
pemuda berkacamata itu tengah berlari mengejarnya.
“ada apa nal?”,tanya Hardina saat
pemuda itu sampai di hadapannya dengan ngos-ngosan.
“ini, pakailah!”,ujarnya sambil
menyerahkan payung ungu itu. Hardina mengeritkan dahi.
“tidak usah, aku juga bawa kok,
tapi terimakasih ya sudah menawariku”,tolaknya dengan lembut, takut menyakiti
hati si pemuda.
“oh.. begitu.., ehm, ya sudah,
tak apa-apa, hati-hati di jalan ya Din”,ujar pemuda itu tak bisa menutupi rasa
kecewanya. Ia berbalik menuju ke gedung sekolahnya untuk mengambil tasnya yang
sengaja ia tinggal di depan lab.TIK.
**
Pemuda itu tersenyum masam
mengingat masa lalunya. Ah, betapa menyedihkan kisah cinta pertamanya itu.
“setaun aku ngejar kamu Din, tapi
kamu tak pernah mau tahu perasaanku”,gumamnya.
**
Aula SMA NEGERI PURBALINGGA telah
disulap semegah mungkin untuk merayakan kelulusan siswa-siswi kelas 3.
Pemuda berkacamata itu hanya
bertengger di pintu masuk sambil menatap teman-temannya yang sedang
mempersiapkan diri untuk tampil. Seharusnya pun ia turut mempersiapan diri
untuk memberi sambutan karna ia telah berhasil meraih juara umum untuk Ujian
Nasional tahun ini. namun, ia sedang menunggu seseorang. Seseorang itu belum
muncul sedari tadi.
Tepukan halus di bahunya
membangunkan pemuda itu dari pencariannya. Dia mendapati seorang pemuda yang
telah 3 tahun ini bersamanya meniti keberhasilan, ya, siapa lagi kalau bukan
pemuda putih itu? Deni.
Deni tersenyum ramah. “setaun ya
Bro lo nunggu dia, dan nggak ada hasilnya”,ucapnya seperti tahu perasaan pemuda
berkacamata itu. Si pemuda berkacamata itu hanya tersenyum miris.
“mungkin dia emang bukan jodoh
gue”,jawab si pemuda berkacamata itu. Deni hanya menepuk-nepuk bahu sahabatnya.
“ya, mungkin juga udah saatnya lo
move on dari dia, lo pinter nal! Lo pasti bisa dapet yang jauh lebih baik dari
dia”,kata deni memberi semangat.
“doain gue ya!”,hanya itu yang
bisa terlontar dari bibirnya.
“sip, gue selalu ada di samping
lo kok! Eh, tuh kayaknya acaranya mau mule! Lo belum siap-siap kan?”. Pemuda
berkacamata itu mengangguk dan kemudian dengan langkah besar dia berjalan ke
belakang panggung.
Selama di panggung tadi matanya
pernah berhentu mencari sosok gadis itu. Gadis yang mampu merebut perhatiannya
selama 2 tahun belakangan ini. segalanya telah ia lakukan untuk bisa dekat
dengan gadis itu, namun ternyata usahanya sia-sia. Dan ia tahu cinta tak bisa
dipaksakan bukan? Sekarang yang ia bisa lakukan hanya berdoa untuk kebahagiaan
gadis itu.
**
Pemuda itu melirik arlogi yang
melingkar di pergelangan tangan kirinya. Jam sudah menunjukkan pukul 15.00 dan
gerimis masih saja turun, tidak lebat memang, tapi cukup bisa diasakan.
Dia melangkahkan kakinya ke
gedung sekolah di hadapannya itu dengan cepat. Pasalnya,Reuni sekolahnya
sebentar lagi akan dimulai.
Dia memasuki aula gedung
sekolahnya, disana ia melihat banyak teman-teman seangkatannya dahulu. Ia
tersenyum sambil melangkah di bangku depan yang masih kosong, ia bagaikan orang
asing disini. Tanpa ia sadari sebuah tepukan halus yang sangat keras berhenti
di bahunya. Ia menengok ke samping, didapatinya seorang pemuda dewasa sedang
tersenyum menyeringai kepadanya. Sungguh, ia rindu senyum itu.
“deni! Gue kira lo nggak dateng.
Bukannya lo tadi bilang nggak dateng ya?”,pemuda itu langsung saja menyerbunya
dengan pertanyaan.
“surprise!”,ucap deni dengan
senyum.
“gimana kabar lo? Istri lo
mana?”,tanya pemuda berkacamata itu.
“istri gue nggak ikut bro, dia
lagi dinas, lo sendiri gimana? Udah ada cewek? Atau masih mengharapkan si
dia?”,jawab dan tanya Deni.
“masih ada yang belum pas di hati
Den, urusan itu mah masih lama”,jawab pemuda itu.
“ohya? Ternyata masih nunggu dia
toh..”,goda deni.
“nggak-lah, gue udah nggak nunggu
dia kok, gue udah coba move on tapi ya belum ada yang suka aja sama gue..hehehe”,ucap pemuda itu denga
terkekeh. Deni memukul pelan bahu pemuda itu.
“emang siapa sih yang nggak suka
sama seorang Renaldi Pradipta Surya
seorang peraih gelar doctor di umurnya yang ke 23tahun??”,goda Deni. Pemuda
berkacamata itu hanya tersipu mendengar penuturan sahabatnya.
“bisa aja lo!”,ujar Renal –pemuda
berkacamata-. Mereka berdua terkekeh.
Seorang perempuan muda yang
cantik bergamis hijau dengan kerudung
senada memasuki aula dengan wajah yang sumringah membuat dua sekawan itu
menengok di tengah tawa mereka. Renal terpaku melihatnya, perempuan itu masih
cantik seperti yang dulu dan senyumnya masih menawan seperti biasanya, kesan
wajah yang ramah langsung menyeruak di tengah gerimis yang masih betah
menurunkan kristal-kristal air pemupuk bumi.
“HARDINA”.
FIN