Hiruk-pikuk suara musik band
menggema di seluruh lapangan, di tambah lagi teriakan nan melengking membuat
suasana semakin bising. Disini aku berdiri, mencari sosokmu. Ku telusuri dari
bagian bawah panggung. Dan akhirnya
kutemukan sosokmu. Kamu berdiri bersama kedua sobat kentalmu di sayap kanan
panggung dengan kemeja putih bergaris hitam yang lengannya kamu gulung sampai
siku, celana jeans hitam, sneakers putih, dan kacamata bening dengan frame
hitam menghiasi wajahmu.
Aku masih berdiri disini, di
samping kiri pintu masuk. Bukan, aku tidak menjaga pintu masuk. Aku hanya mau
memperhatikamu, menunggu waktu, dan meneguhkan hatiku. Aku bertekad bahwa ini
harus aku lakukan sekarang, tidak boleh besok atau kapan pun, aku takut jika
besok sudah tak ada lagi waktu.
Dengan langkah pasti dan pelan
aku melangkahkan kaki-ku mendekati sosokmu. Kamu masih disana seakan menungguku,
bahkan punggungmu tampak melambai kepadaku. Sekarang tak ada lagi ragu, aku
sudah terlanjur basah, sekalian saja aku berenang.
Deg.
Jantungku tidak bisa berkompromi,
dia memompa darahku semakin cepat ketika kamu berbalik badan tepat lima langkah
sebelum aku menyentuh bahumu.
“Hai Rin, baru sampai?” itu
sapamu dan kamu tersenyum. Demi apa, aku sungguh menyukai senyummu itu, dari
dulu.
“Eenng, iya. By the way, bisa ngomong sebentar?” aku tahu, pasti senyumku sangat
kaku. Ah tidak, itu bukan senyum, itu terlihat seperti ringisan.
“Boleh. Tapi jangan tegang gitu donk ngeliatin aku-nya,” kamu kembali
tersenyum menggodaku. Dan aku tersipu. “Ayo Rin,” kamu berjalan di depanku dan
aku di belakangmu, menetralkan kembali jantungku.
Kita berjalan memasuki lorong
sekolah, aku masih ada di belakangmu, menatap punggung kokohmu. Sampai kamu
akhirnya berhenti. Tidak, aku tidak menabrak punggungmu itu. Ku lihat
punggungmu naik turun, menghela napas sejenak. Kamu tidak berbalik badan, dan
ini-lah saatnya aku mengungkapkan semuanya, semua yang selama ini terpendam
bertahun-tahun.
“Aku...”
“Aku suka kamu Rin,” sejenak
otak-ku kosong, badanku membeku, lidahku kelu. Hanya empat kata dan satu
kalimat lugas hanya dalam satu tarikan napas. Bukan, bukan itu skenarionya. Seharusnya
aku yang mengatakannya kepadamu, bukan kamu kepadaku.
“Lebih dari suka Rin, aku sayang
kamu,” aku tidak bisa berkata, ini di luar skenario yang telah aku buat, aku
bahkan membuat skenarionya lebih dari satu, dan semuanya meleset? Jauh dari bayangan.
“Lucu ya Rin? Kita udah lama
bareng, dari SMP. Tapi baru sekarang aku ngomong kalo aku sayang sama kamu. Bukan
Rin, ini bukan sayang sahabat, bukan juga sayang saudara, ini lebih dari itu. Kamu
tahu kan maksudku?” ini isi dialog dalam skenarioku, tapi posisinya aku yang mengatakannya,
bukan kamu. Dan parahnya, aku tidak menghapal skenario bagianmu, jadi aku tidak
bisa menjawabnya, aku hanya bisa diam dan menerka-nerka dialog apa selanjutnya
yang akan kamu ucapkan.
“Aku tidak memintamu untuk
menjadi pendampingku, aku hanya ingin kamu tahu perasaanku. Itu cukup, dan
sekarang aku lega,” persis. Sama persis. Ini dialogku, dialog yang mati-matian
aku hapal dan aku terka jawabannya, namun tak pernah aku temukan, karna aku
berharap kamu punya jawaban di luar script yang telah aku
tentukan.
“Katakan sesuatu Rin,” pintamu. Kamu
masih berdiri membelakangiku. Aku tahu ini kali pertama kamu menyatan perasaan
kepada seseorang. Aku tahu kamu bukan malu atau pengecut, kamu hanya belum bisa
menatap ke dalam mataku, dan kamu juga pasti tahu kalau aku pun tidak bisa
menatap matamu. Bahkan di saat seperti ini kamu masih menjaga perasaanku.
“Aku... terima kasih,” hanya itu.
Aku tidak tahu harus bagaimana.
“Maaf ya Rin, ini memang nggak romantis, ini bahkan terkesan
pengecut. Menyatakan cinta, tanpa menatap mata. Tidak meyakinkan ya, Rin?” kamu
tertawa hambar dan aku mendekati punggungmu, menyandarkan kepalaku di
punggungmu dan menggeleng pelan.
“Kamu pencuri ya?” tanyaku. Kamu diam.
“Kamu curi semua script milikku, kamu mencuri semua dialog-ku bahkan kamu tidak
memberi sedikit pun contekkan script milikmu.”
“Aku nggak ngerti,” ya, kamu tidak akan mengerti. Kamu tidak akan tahu.
“Aku suka kamu.”
Bagiku tiga kata itu cukup
mewakilkan semuanya, cukup mewakilkan semua perasaan yang sudak hampir lima
tahun ini aku sembunyikan dan aku jaga rapat-rapat di bagian hati paling dalam.
Kamu, kamu tahu? Bukan Cuma kamu
yang lega. Aku pun.
0 komentar:
Posting Komentar