Aku
hanya duduk disini, di balik meja panjang dengan segala macam jenis kopi. Aku
hanya diam memandanginya, memandangi gadis yang kerap kali datang ke tempat ini
hanya sekedar membeli beberapa cangkir kopi kesukaanya, aku pun sampai hafal
apa yang akan ia pesan sebelum ia mengatakannya. Sudah lama memang aku menaruh
hati padanya, kepada gadis yang bahkan aku tak tahu namanya.
Aku
sedikit merenggangkan dasi pita yang mengikat leherku, rasanya aku sulit
menelan ludah saat ia tersenyum kepadaku kala itu, kala pertama aku melihatnya,
kala wajah kuyu-nya menampakkan senyum manis. Aku bahkan bisa melihat ia sangat
terpaksa menampakkan senyumnya. Dan aku hanya menyembulkan senyum ramah,
seperti biasanya ketika pengunjung datang. Suaranya mengalun tak kala aku
bertanya dia akan memesan apa dan aku sangat tidak mengira bahwa ia akan
memesan 3 cangkir kopi mengingat aku hanya melihatnya datang seorang diri.
Aku
masih ingat malam, itu tiba-tiba ia datang ke tempatku, dia memesan 2 cangkir
kopi, brewed coffee dan cappucino, dua jenis kopi yang wajib ia pesan. Aku
melihat wajahnya yang tampak letih, rambutnya yang terikat kuda tampak
acak-acakan dan ia juga memandang dengan tatapan kosong, kali ini ia datang
tanpa senyuman. Ketika aku menyerahkan 2 cangkir kopi miliknya ia hanya
memandangku tanpa tanpa rasa dan membayarnya, kemudian ia duduk di bangku
paling ujung, mengaduk-aduk kopinya asal dan menyesapnya kasar. Aku terkadang
bertanya-tanya sebenarnya apa pekerjaannya, namun terlalu lancang sepertinya,
pegawai rendahan sepertiku tidak mungkin bisa bertanya hal yang sensitif
seperti itu.
Terkadang
aku bersyukur karena kopi mengandung kafein karena kafein mengandung candu, karena
candu itu membuatnya terus kembali kesini dan sepertinya aku juga kecanduan
oleh wajahnya yang walau kuyu tetap saja membuatku rindu.
Seperti
hari-hari biasanya, aku masih tetap berdiri di balik meja panjang ini, sejenak
aku memandang arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Jarum jam kecil
menunjukkan angka 11 dan yang besar menunjukkan angka 10, sudah hampir jam 11
malam,pantas saja sudah sepi begini, mengingat pula malam ini adalah malam
Senin, pasti para pecinta kopi itu sedang berada di atas pulau kapuk. Mengingat
para penggila kopi itu aku jadi teringat oleh gadis itu, hari ini dia
sepertinya tidak akan datang. Sudah terlalu malam untuk seorang gadis
berkeliaran hanya untuk mencari kopi.
Ttiinngg..
Aku
mendongak ke arah pintu masuk, sedikit terkejut aku melihat gadis itu datang
dengan mantel panjangnya dan rambut kucir kuda yang tersisir rapi, wajahnya
agak sedikit cerah namun matanya masih tetap sama, kosong. Dia berjalan ke
arahku.
“brewed
coffe dan coffee late”,ucapnya tanpa basa basi, aku tersenyum dan mengangguk.
Mengambil 2 cangkir dan membuatkan pesanannya sembari mencuri-curi pandang
kepadanya. Nampaknya dia tidak begitu memperhatikan lingkungannya.
“ini
milikmu, semuanya 50ribu rupiah”,ucapku dan menyerahkan kedua cangkirnya. Dia
merogoh kantung mantelnya dan memberiku uang pas. Setelah aku mengucapkan
terimakasih dia pergi ke bangku biasanya. Dia menyesap kopinya sedikit demi
sedikit dan kemudian ia mendesah pelan. Jika kulihat ia sepertinya sedang ada
masalah, oh tidak, sepertinya setiap ia kesini pasti ia sedang bermasalah.
Dia
menyesap kopinya cepat dan membuang cangkir kertasnya, kemudian bunyi bel
kembali terdengar, ia keluar. Aku hanya bisa memandang punggungnya dan
rambutnya yang bergoyang ke kanan ke kiri. Jam tua di belakangku berdentang 12
kali, ternyata sudah tengah malam. Segera aku ke dapur dan mengambil mantel
serta helm-ku. Aku berpamitan pada Kou -pemuda jangkung asal Shibuya- yang
ternyata akan menjaga pada sift malam sampai pagi.
Aku
menyalakan mesin motor matic-ku dan saat aku melihat kaca spionku, aku melihat
bayangan gadis itu, seperti sedang menunggu sesuatu, menunggu bus atau
jemputannya mungkin. Sejenak aku berpikir untuk menghampirinya, sekedar
basa-basi atau mungkin aku bisa menawarkan tumpangan untuknya. Tapi... ah
sudahlah lebih baik aku mencoba basa-basi kepadanya.
Aku
menghentikan motor matic-ku tepat didepannya dan kemudian aku membuka helm
fullface-ku. Kuberikan senyum ramah seperti biasanya dan sberdeham tak kentara.
“apakah
anda sedang menunggu bus atau kendaraan umum?”,tanyaku sopan karena wilayah ini
masih termasuk dalam wilayah kerja jadi sebaiknya aku masih bersikap formal
kepadanya. Dia memandangku dengan wajahnya yang pias. Dan sedikit
menyunggingkan senyum.
“ya”,singkat
dan jelas, tak ada tambahan apapun dan ia langsung mengalihkan pandangannya ke
ujung jalan.
“apakah
anda hanya sendirian?”,tanyaku. Kulihat ia meyeritkan dahi dan mimiknya berubah
menjadi waspada, aku bisa melihat telapak tangannya yang mengepal dan bergetar.
“ehmm.. maksud saya, apakah saya boleh menemani anda sampai anda mendapatkan
kendaraan?”,tambahku cepat, mencoba menghindari sebuah kesalahpahaman. Dia
sedikit berpikir dan kemudian mengangguk. Aku hanya tersenyum.
Hening.
Sunyi. Sepi. Sudah hampir satu jam aku dan ia menunggu bus-nya, namun bus yang
ditunggu tak kunjung datang yang datang hanyalah semilir angin malam yang biasa
membuat orang meriang. Dia merapatkan mantelnya dan menggosok-gosok telapak
tangannya yang tak terbungkus. Sejak sejam tadi tidak ada satu pun diantara
kami yang mencoba membuka topik. Bukannya aku tidak mau, hanya saja aku tidak
tahu harus berkata apa.
“kedinginan?”,tanyaku.
Dia menggeleng keras.
“apakah
kau mengantuk? Aku sudah melihatmu beberapa kali menguap, kau pasti lelah
sebaiknya kau pulang saja dulu, aku tidak apa menunggu disini seorang
diri”,ucapnya, kali ini aku yang menggeleng keras.
“tidak..
tidak mungkin aku meninggalkan seorang gadis seperti anda menunggu bus seorang
diri di tengah malam seperti ini, lagipula aku sudah terbiasa begadang seperti
sekarang ini”,ucapku. Dia tersenyum.
“tapi
aku jadi merepotkanmu ehm.....”
“Fujisawa
Shouji”,potongku.
“ya
Fujisawa, namaku Amane”,dia mengulurkan tangannya dan aku membalas tangan
dinginnya.
“tanganmu
dingin sekali, apakah tidak apa-apa?”,tanyaku masih menggenggam tangannya. Dia tersenyum.
“tidak
apa-apa..”,jawabnya. Aku menarik tanganku dan melepaskan sarung tangan yang aku
gunakan.
“pakailah!
Aku tidak ingin kau kedinginan”,ujarku dan mengulurkan sarung tanganku.
“terimakasih,
maaf telah merepotkanmu”,katanya dan mengambil sarung tanganku yang kemudian
dipakainya.
“itu
bus-ku, terimakasih untuk semuanya, secepatnya aku pasti mengembalikan sarung
tangan milikmu Fujisawa”,ucapnya saat sebuah besi berjalan melaju ke arah kami.
Aku hanya tersenyum menanggapinya.
“ya,
sama-sama, selamat malam, sampai berjumpa kembali”,ucapku saat ia melambai dari
dalam bus-nya. Malam ini mungin adalah suatu malam yang tidak akan aku lupakan,
malam pertama aku bisa mengetahui namanya, malam pertama ia memberikan beberapa
senyuman dan beberapa ekspresi yang tidak aku ketahui.
Cicit
burung gereja menyambangi indera pendengaranku saat aku turun dari motor
matic-ku. Mataku sedikit membelalak saat aku melihat Amane tengah berdiri tegak
di depan pintu masuk kedai kopi tempatku bekerja. Dia terlihat lebih rapi
dengan pakaian khas kantoran yang dipadukan dengan bolero coklatnya, rambutnya
tak acak-acakan, diurai rapi dan wajahnya tak sekuyu biasanya. Ia tersenyum
kepadaku saat aku datang menghampirinya.
“mari
silakah masuk”,ajakku layaknya seorang pelayan biasa. Ia tersenyum dan masuk
saat aku membukakan pintu untuknya. “silakan memesan apa yang anda
butuhkan”,ucapku sopan dan menyunggingkan senyum.
“aku
memesanmu”,aku terkesiap saat mendengarnya.
“maaf?”,tanyaku
sopan.
“maksudku
aku hanya ingin kau yang melayaniku”,jawabnya. Aku hanya tersenyum dia membalas
senyumanku.
“baiklah
nona, tunggu sebentar disini”,ucapku dan melesat ke dapur.
Aku
kembali ke hadapannya dengan memakai seragam pelayan lengkap dengan dasi pita
di leherku. “baiklah sekarang anda ingin memesan apa?”,tanyaku ramah.
“satu
brewed coffee dan aku mau kau yang mengantarkannya ke mejaku”,jawabnya yang
membuatku tak terduga lantas tersenyum dan mengangguk. Kaki jenjangnya
melangkah ke bangku biasa dan aku membuatkan pesanannya.
Aku
menepuk bahu Kou -yang ternyata masih mengerjakan sift pagi- untuk berpamitan
mengantarkan kopi pesanan Amane. Kou hanya meneyritkan dahi, bingung. Ya,
mungkin karena sejak dulu kedai kopi ini tak pernah mengantarkan pesanan dari
meja ke meja.
“satu
brewed coffee untuk nona Amane”,ucapku menyapanya. Dan lagi-lagi untuk kesekian
kalinya gadis itu tersenyum, siapapun tolong tahan aku?!
“terimakasih”,ucapnya.
“untuk
layanan antar tidak gratis nona”,godaku. Pipinya bersemu, demi Tuhan itu adalah
reaksi yang sangat manis sekali.
“sebaiknya
kau jangan coba-coba menggodaku Fujisawa!”,ujarnya malu-malu.
“baik..baiklah,
apakah ada yang lain yang bisa kubantu? Jika sudah tidak ada aku akan
kembali”,tanyaku.
“jangan!
Kau temani aku dulu disini, aku juga mau mengembalikan sarung tanganmu yang
tadi malam kau pinjamkan kepadaku”,pintanya. “apakah tidak apa-apa jika kau
tidak bekerja dan hanya menemaniku duduk-duduk disini?”,tanyanya cemas.
“baiklah,
mungkin bos-ku hanya akan memotong gajiku jika dia tahu aku duduk-duduk dengan
pelanggannya”,candaku.
“benarkah?”,pertanyaan
polosnya membuatku tergelitik geli ditambah lagi dengan bola matanya yang
melebar.
“ah,
tentu saja tidak, aku hanya bercanda”,jawabku dan tersenyum geli.
“Fujisawa!
Jangan menggodaku seperti itu, membuatku khawatir saja!”,ucapnya kesal.
“baiklah-baiklah,
tidak akan aku ulangi lagi. ahya! Kenapa kau cepat sekali mengembalikan sarung
tangan ini padaku? Besok-besok kan masih bisa, aku masih bekerja disini kok”,ucapku.
“ya
sebaiknya kau tidak mencoba bermain-main kepadaku lagi! mungkin kau masih
bekerja disini, tapi aku hanya takut jika besok-besok aku tidak bisa
mengembalikannya kepadamu”,ujarnya. Aku sedikit mencerna kata-katanya, lama
baru aku menemukan sebuah kejanggalan dalam perkataannya.
“apakah
kau akan pergi?”,tanyaku tanpa sadar.
“Takdir
seseorang siapa yang tahu?”,dia hanya balik bertanya dan kemudian menarik
cangkirnya, mengusap-usap permukaan cangkir kertas itu dan kemudian dihisapnya
pelan, bahkan sangat pelan dari biasanya.
“apakah
kau sangat menyukai kopi?”,tanyaku saat memperhatikannya.
“ya,
sejak aku menyukai seseorang”,jawabnya dan menyunggingkan sebuah senyum
ketulusan, senyum kebahagiaan mungkin. Aku hanya bisa menahan napas saat ia
menjawab, ternyata dia sudah menyukai seseorang.
“ehm,
sudah jam 12 rupanya, aku harus kembali ke kantor”,ucapnya kemudian ia merogih
tas tangannya dan mengeluarkan sarungtanganku. Ia menyerahkan sarung tanganku
sembari berkata, “terimakasih sudah meminjamkan sarung tanganmu, maaf juga aku telah
merepotkanmu dan mengambil jatah tidurmu”,ucapnya dan tersenyum, aku membalas
senyumnya.
“tidak
usah sungkan begitu, aku sudah menganggapmu teman”,pada ujung kalimatku aku
sedikit tercekat.
“ya,aku
pun begitu. Kalau begitu, aku pamit ya.. selamat tinggal..”,ucapnya sembari
berdiri. Aku pun ikut berdiri dia membungkukkan badannya, aku bisa melihat
setetes air mata menggenang di ujung matanya lantas ia berbalik dan pergi
melewati pintu masuk yang menimbulkan denting bel. Aku menatap punggungnya sampai
hilang dibawa taksi. Kenapa ada perasaan kosong? Kenapa ada rasa tidak rela?
Kenapa ada rasa kehilangan? Kenapa rasa ini tidak seperti biasanya? Kenapa
kata-kata tadi serasa sebuah perpisahan yang mendalam? Rasanya seperti tidak
akan bertemu kembali dengannya.
Aku
berjalan dengan gontai ke belakang meja panjang tempatku seperti biasanya, kali
ini Kou-lah yang menepuk bahuku. “apakah dia sangat berharga bagimu?”,tanyanya sok tahu. Aku hanya mengangkat bahu.
“bisa
jadi”,jawabku malas dan aku duduk di atas kursi tinggi yang berada di samping
Kou.
“sepertinya
kau juga sangat berharga baginya, ehm, apakah kau menyakitinya?”,tanyanya
hati-hati. aku hanya menyeritkan dahi.
“maksudmu
apa?”,tanyaku tak mengerti.
“aku
melihatnya menetesakan air mata saat ia akan pergi, aku juga bisa melihat
matanya saat menatapmu, matanya memancarkan sebuah rasa lebih saat
menatapmu,”,jawabnya. “ehm, aku memang tidak begitu ahli tentang hal seperti
itu, tapi aku bisa membedakan tatapannya saat ia menatapmu, ya.. dan kau boleh percaya
atau boleh juga tidak”,tambahnya cepat saat ia melihat wajah raguku. “baiklah,
sekarang sudah siang dan sift-ku sudah habis, aku sangat mengantuk.. aku pulang
dulu ya.. sampai jumpa”,Kou melangkah pamit meninggalkanku yang masih mencoba
mencerna setiap kata-katanya.Entahlah aku harus percaya atau tidak yang aku
harap hanya dia akan kembali lagi esok.
“Sampai
jumpa Shou...”,teriak Kou dan melambai kepadaku saat aku mengambil mantel dan
helmku di dapur. Malam ini masih sama seperti malam-malam sebelumnya, aku
pulang hampir tengah malam seperti ini, ah mungkin sebaiknya aku meminta bos
untuk menukar jadwal kerjaku dengan pegawai yang lain yang memiliki sift pagi
hingga sore, bekerja seperti ini membuat jadwal tidurku jadi kacau.
Aku
mengenakan mantel serta helmku saat sudah berada di depan motor matic-ku. Tak
lupa aku mengambil sarung tangan yang telah Amane kembalikan siang tadi. Aku
mengepaskan jari-jemariku ke dalam sarung tangan itu dan srreekk, sepertinya
aku menentuh sesuatu di dalam, cepat kutarik kembali jari-jari yang telah
terlanjur masuk. Sebuah kertas ikut tertarik juga. Kertas apa ini? sepertinya
aku tidak pernah meninggakan kertas di dalam sarung tangan ini. kertas itu
terjatuh dengan cepat aku ambil kembali, dengan bertanya-tanya aku lantas
memasukkan kertas itu ke dalam saku mantelku, sebaiknya aku buka di rumah saja.
Aku melirik breitling yang melingkar di pergelangan tanganku, sudah tengah
malam, segera aku menyalakan mesin motorku.
Aku
menghempaskan tubuhku di atas kasur sempit yang sudah lama aku tempati. Rasanya
badan ini berat sekali, aku menutup mataku dan tiba-tiba aku terbelalak. Aku
meloncat dari kasurku dan merogoh saku
mantelku. Ku tarik kertas yang ada di dalamnya. Dengan rasa penasaran aku
segera membaca isinya.
Jantungku
berdetak cepat membacanya, tubuhku lemas, rasanya bercampur aduk. Entahlah apa
yang aku rasakan. Entahlah apa yang harus aku lakukan. Ternyata apa yang
dikatakan Kou benar dan ternyata feelingku juga benar. Sekarang Aku hanya bisa
berharap baik untuk Amane. Dan suatu saat aku akan membalas pernyataannya jika
dia kembali nanti.
Untuk Fujisawa
Hai Fuji atau bolehkah aku memanggilmu Shou? mungkin jika
kau membaca surat ini kau tidak akan melihatku karena sekarang aku berada di
tempat yang jaauuh sekali denganmu dan juga jauh dari negara kita. Mungkin kita
tidak akan bertemu untuk beberapa waktu, aku juga tidak tahu apakah kita akan
bertemu lagi atau tidak, tapi bolehkah aku berharap kita bisa bertemu lagi?
Sebenarnya dengan surat ini aku hanya ingin menyampaikan
rasa terimakasihku padamu, terimakasih karena selama ini sudah melayaniku
dengan baik walaupun wajahku tidak menampakkan bahwa aku sedang baik-baik saja,
tapi kau tetap melayaniku dengan ramah tidak seperti temanmu yang jangkung itu,
dia sangat tidak ramah kepadaku(sebaiknya kita tidak usah membahas dia lagi).
Terimakasih juga kau telah menemaniku sampai bus-ku
datang, aku tahu sebenarnya kau sangat mengantuk, sebenarnya diam-diam aku
menghitung berapaa kali kau menguap V.
Terimakasih juga kau telah memberi kehangatan kepadaku,
sarung tanganmu sungguh menghangatkanku, aku bersyukur karena kau memberi
sarung tanganku kepadaku, mungkin jika tidak aku telah mati membeku disana.
Ehm Shou, Kau tahu sejak kapan aku suka kopi?pasti kau
tidak tahu. Aku akan memberi tahumu suati rahasia, tapi aku harap kau tidak
membocorkan rahasia ini kepada siapapun. Kau janji? Baiklah janji jari
kelingking ya..
Sebenarnya aku suka kopi sejak aku suka kepada
seseorang.kau tahu? Dia sangaaat tampaan, sabar dan senyumnya sangat menawan.
Dia juga adalah seorang yang rela berkorban walaupun dia tak mengenal baik
orang yang ditemuinya. Dia orang yang hangat. Aku suka semua yang ada pada
dirinya.
Kau tahu siapa orang itu?
Ya, orang itu adalah kau Fujisawa Shouji. Kau yang ramah
kepadaku, kau yang sabar, kau yang selalu tersenyum, kau yang baik hati, kau
yang penuh dengan kehangatan, kau yang segalanya bagiku.
Mungkin kau baru mengenalku tapi aku sudah lama
mengenalmu, sejak pertama aku bertemu denganmu, saat aku melihat heranmu saat
aku memesan 3 cangkir kopi. Aku suka melihat wajah terkejutmu. Dan kau tahu?
Entah sejak itu aku selalu ingin datang ke tempatmu. Mungkin benar kata orang
kopi mengandung kafein dan kafein mengandung candu, seperti aku yang terkena candu
olehmu.
Ohya Shou, apakah kau tahu? Aku sangat terkejut saat aku
melihatmu berhenti malam itu di hadapanku. Aku rasanya bermimpi, dan lidahku
kelu sampai satu jam kita hanya diam. Sebenarnya aku ingin menegurmu tapi
rasanya aku tidak bisa. Maafkan aku yang sudah merepotkanmu malam itu.
Terimakasih karena kau telah mengisi hari-hari kelamku
dengan senyummu, karena Shou aku mencoba bertahan menghadapi hidupku yang
mungkin tak akan lama lagi.
Maaf aku telah lancang
karena memiliki rasa kepadamu, pemuda yang sempurna tapi rasa ini tidak bisa
beralih.
Di akhir surat ini aku hanya ingin mengatakan satu hal
padamu.
Aku
mencintaimu Shou.
With
Love,
Amane Kaoru